Thifa Taman Bestari Sekolah Rumah
Home Education : Nature VS Nurture (diposkan di FB 24 Mei 2009)
Minggu, 03 April 2011
Dua pekan lalu, saya sempat berbincang dengan bu Mayke. Setelah berbincang mengenai keseharian, bu Mayke bertanya tentang perkembangan cucunya. Ya, betul, Thifa maksudnya. Mengalirlah cerita yang paling terbaru yaitu mengenai Catatan SBY. Kemudian, bu Mayke mengajukan pertanyaan, "Na, coba deh kamu teliti, kondisi Thifa lebih dipengaruhi Nature atau Nurture?"

Wah, terus terang, saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Iya yah, mana yang lebih berpengaruh pada kemampuan berbahasa (membaca dan menulis) Thifa, Nature-bakat alamiah- atau Nurture alias lingkungan yang membentuk perilaku dan kemampuannya.

Dari sisi alami atau keturunan, seingatku, kami sekeluarga memang tumbuh dan besar dalam budaya berbahasa. Saya dan 2 adik saya bisa membaca sebelum usia 4 tahun. Tanpa kursus atau flashcard. Ya iyaa lah, tahun 70-an akhir mana ada kursus membaca dan menulis. Semua keterampilan kami dapat dari Ibu kami, membaca dan menulis. Tak pernah terlintas ingatan tentang paksaan dalam membaca dan menulis. Yang kental dalam ingatanku adalah pulang sekolah dijemput Papa untuk menunggunya mengajar di ITB. Hehehe, kecil-kecil sudah gaul sama mahasiswa. Sejak kecil kami sudah lekat dengan buku. Baca cerita sebelum tidur rasanya wajib, tapi baca sendiri. Kalau mendongeng, justru saya lebih ingat dongengan almarhum kakek. Wah, fenomenal banget. Saat mendongeng, kakek yang kami panggil "Bapak" selalu interaktif dengan pendengarnya. Alhasil, semua cucu-cucunya kecanduan dengan dongeng Bapak. Dari keluarga Papa, menurut saya selain kutu buku juga, keluarga ini dipengaruhi oleh budaya bahasa tutur. Wuih, pada jago ngomong semua deh. Maklum, Papa 7 bersaudara, 5 orang diantaranya adalah guru/dosen. Cukup kan? Nah, di keluarga kami sendiri, maksudnya keluarga inti saya, Papa adalah orang yang membentuk budaya bahasa kami. Beliau menimbuni kami dengan buku-buku dan majalah. Tiada hari tanpa membaca. Beliau juga mengalihkan budaya tutur menjadi budaya tulis. Sekitar tahun 2000 awal, Beliau menulis artikel untuk buletin setiap pekan. Jadi sekitar 3 tahun, Beliau menulis secara rutin. Setelahnya, hampir setiap pagi beliau menulis artikel dan menulis apa saja yang terlintas di benaknya. Mungkin hal ini yang bisa disebut sebagai 'nature', mengingat dua adik saya tidak terlalu rajin menulis saat ini. Saya mulai tergugah untuk menulis sekitar 2-3 tahun lalu. Seorang teman memfasilitasi keinginan saya dengan memberikan tutorial tentang menulis. Buat saya, menulis itu perlu gairah yang menggerakkan. Mungkin nanti saya akan menjadi terbiasa dan jadi profesional dalam menulis.

Dari sisi Ayahnya Thifa, membaca juga jadi kebutuhan. Itu sebabnya saya memilihnya, hehehe. Ketika saya menikah dengannya, ratusan buku yang mendekati angka seribu ikut bersamanya. Hmm, akhirnya kami punya satu kamar yang isinya buku semua. Entah nanti kalau kami pindah 'rumah', mungkin kami akan menyulap 'rumah' itu dengan desain ramah buku seperti di "Living with Books" buku favoritku.

Nah, kalau sudah begini, bagaimana dengan peran Nurture? Rasanya jadi otomatis, ya. Sejak usia 5 bulan, Thifa sudah akrab dengan buku-buku bayinya. Sebelum tidur malam, kami semua membuka buku masing-masing. Saya dengan buku untuk persiapan kuliah, Ayahnya Thifa dengan bacaannya, dan Thifa dengan buku bayinya. Kalau dia sudah menikmati bukunya dan sibuk ber-ah, uh, eh, baru kami mengobrol dengannya menggunakan buku. Itu berlangsung terus sampai Thifa besar. Dia menikmati dulu bukunya, baru kemudian bercerita atau mendongeng. Setelah bisa membaca, barulah kebiasaan menulis Thifa dikembangkan. Mulai dari mencatat barang yang akan dibeli di supermarket, membuat
gambar-gambar dengan ceritanya, sampai mengarang. Mulai dengan krayon, pensil, sampai belajar mengetik 10 jari dilakukan oleh Thifa. Tampaknya dia senang-senang aja ya dengan kegiatan membaca dan menulis yang dilakukannya. Kalau sekarang, kegiatan membaca buku sudah jadi butuhannya.Kamis kemarin, ketika ke Bogor naik KRL, Thifa ngomel karena dia tidak membawa buku, perjalanan 45 menit dirasakannya lama dan dia mengatakan, "Aku perlu buku, Bun," Bila sudah bosan bermain atau mengkhayal di rumah, Thifa akan mengambil buku kemudian membacanya. Dia bisa membaca berulang-ulang buku yang pernah dibacanya. Saat ini buku Thifa banyak sekali dan tersebar di mana-mana. Dia bisa mengambil sendiri bukunya dan duduk tenang berjam-jam (rekornya sampai saat ini adalah membaca 144 halaman dalam waktu 2 jam non stop). Tampak dia sangat menikmati me timenya, entah dengan membaca atau menulis. Sama seperti kami, yang bisa terlarut dengan bacaan dan aktivitas menulis.

Jadi, Nature atau Nurture?