Thifa Taman Bestari Sekolah Rumah
Catatan Mei (diposkan di notes FB 28 April 2009)
Minggu, 03 April 2011
Rasanya, mendekati awal Mei aku selalu gundah. Di catatan-catatan yang tersebar di Friendster dan blog, ada jejaknya. Tahun-tahun lalu Ujian Nasional lah penyebabnya. Tahun 2009, hmmm.. inilah yang terjadi.

Di rumahku, setiap sore beberapa anak berkumpul untuk belajar. Macam-macam belajarnya, dengan tujuan persiapan masuk SD dan pemantapan pelajaran SD tingkat dasar. Yang dipelajari adalah bahasa Indonesia, Matematika, dan bahasa Inggris. Anak yang sudah lancar baca dan tulis belajar untuk mencintai bahasa melalui pemahaman. Nonton film, buat resume, mengarang, membuat sinopsis buku, mengenal puisi, macam-macam. Matematika tak hanya berhitung, tapi membentuk logika berpikir. Ups, aku gak lagi promo yaa,, :) Untuk anak-anak yang belum bisa baca-tulis-hitung, yaa, belajar lah untuk bisa baca-tulis-hitung. Untuk yang satu ini, aku mensyaratkan usia 5 tahun dan duduk di TK-B untuk mengikutinya. Mulai dari kenal abjad, mengenal suku kata, merangkai kata, termasuk menulisnya. Semuanya menyenangkan tentunya. Tanpa paksaan dan mengikuti kemampuan anak.

Suatu hari, seorang Ibu datang membawa anak lelakinya. Dari sikapnya, aku menduga dia baru berusia 4 tahun. Ternyata betul, ia masih duduk di TK A dan berusia 4 tahun. Ibunya ingin ia ikut kegiatan belajar membaca dan menulis. Dia kutolak. Si Ibu tetap memaksa. Katanya, "Saya dengar dari teman saya, katanya anak usia 3 tahun sudah bisa membaca dan menulis karena belajar di sini," Hah? Hahahaha, saya jelaskan, bahwa baru mulai tahun ajaran ini kami membuka kelas seperti ini. Dan, yang dimaksud kawannya adalah Thifa, anakku sendiri. Aku ralat bahwa Thifa bisa membaca di usia 3 tahun 2 bulan, dan menulis lancar baru diusia 3,5 tahun hampir 4 tahun. Dia memaksa dan aku menolak. Tidak. Aku bisa mengajari anakku sendiri di usia itu karena dia hidup denganku, hidup dengan buku, dan memang sudah siap untuk membaca. Dia tetap memaksa. Aku tetap menolak.

Dua bulan kemudian, Sang Ibu datang kembali. Dikatakannya bahwa anaknya sudah berulang tahun ke-5 dan meminta untuk membaca. Anaknya hanya diam dan tidak menjawab ketika diajak berbicang. Anaknya belum kenal huruf apa pun, kecuali bernyanyi, "A..B..C..D..E..F..G"Hari pertama, anaknyanya tak bersuara dan lebih tertarik membolak-balik buku. Pekan berikutnya, ia hanya datang di setengah jam terakhir karena hujan deras. Pekan ketiga, anak itu tidur di atas meja sepanjang pertemuan. Pekan keempat, sang anak tidak mau masuk kelas. Aku hanya tersenyum. Kawan-kawanku yang ikut mengajar hanya saling pandang. Itu sudah kami prediksikan sebelum menerima anak ini. Ibunya yang punya ambisi. Anaknya yang menjadi korban. Ibunya berjanji ini itu pada sang anak demi ia masuk ke dalam kelas. Tidak sampai 5 menit, bukan lagi janji yang keluar dari mulut sang Ibu, tapi ancaman satu demi satu. Oh ya, anak ini bersekolah di TK lain, bukan di Bestari. Akhirnya si anak masuk setelah ditawarkan mainan untuk dimainkan di dalam kelas. Tak lama, sang Ibu menyusul masuk membawa buku tulis bersampul dan bergambar jeruk. Ini PR nya dari sekolah, membuat angka 9 yang kami kira itu huruf g. Karena anak-anak bimbinganku sedang membuat resume film yang baru ditontonnya, aku mengambil alih pembelajaran si anak. Ternyata, ia hanya kenal huruf yang diajarkan di pertemuan sebelumnya, yaitu A dan B. Huruf C dan D belum dikenalnya karena ia tidur di kelas. Aku bermain-main dengannya, membuat huruf B dan A dari binatang-binatang dan membaca suku kata. Menarik garis bebas, mengikuti titik-titik, dan ini tampak membuatnya senang. Menurutnya, guru di sekolah tidak pernah mengajarkan caranya menarik garis dengan mengikuti titik-titik. Buku PR ternyata berisi menuliskan angka-angka sebanyak 24 buah per halamannya. Tapi, si anak tak tahu angka yang dituliskannya. Di dalam buku tulis, angka-angkanya rapih, berada dalam satu baris. Sedangkan anak ini masih belum bisa mengendalikan gerakannya. Tekanannya amat kuat dan tarikan garisnya kaku. Hmm, tak heran kalau mengerjakan PR menulis menjadi masalah untuknya. Kami terus bermain-main, berlatih kekuatan lengan, menarik garis lebih luwes, dan menuliskan angka 9 tanpa batasan garis.

setelah jam selesai, Ibunya datang menjemput. Pertanyaannya di depan pintu terhadap si anak, "Belajar huruf apa hari ini?" Anaknya diam saja. Lalu si Ibu membuka buku PR dan melihat si angka 9 yang ditolak sang anak untuk mengerjakannya, "Lho kok begini ngerjain PR-nya?" Aku sudah siap untuk menjawab jika sang Ibu bertanya padaku, tapi ia tidak. Jadi kubiarkan saja. Hatiku sedih. Hanya sebegitukah dia menghargai anaknya dan menghargai kami? Hanya setara dengan selembar kertas berisi 24 buah angka 9? Ia tidak sadar bahwa angka 9 yang menjadi PR itu akan menghancurkan anaknya. Tapi aku hanya diam. Aku marah pada sang Ibu. Aku kasihan pada sang anak. Kalau aku bicara, saat itu emosi yang menguasaiku. Kubiarkan saja mereka pulang. Pekan depan akan kujelaskan perkembangan dan kemampuan anaknya. Tapi, mereka datang kembali tadi malam. Dalam mimpiku. Ah, tidurku tak pulas karenanya. Hhhh..