Thifa Taman Bestari Sekolah Rumah
Belajar dari Om Bob (diposkan di FB 22 Mei 2009)
Minggu, 03 April 2011
Gak tahan untuk gak nulis, hehehe. Siang ini saya nonton D'Show di Trans TV. Maklum, ibu Rumah Tangga, istirahat siang sambil leyeh-leyeh. Mumpung Thifa di rumah Mami, saya jadi bisa nonton acara yang mengangkat topik-topik tak biasa. Kali ini, topiknya "Sekolah dulu baru kerja atau kerja dulu baru sekolah" Bukan acaranya yang membuat aku bergairah untuk menulis. Tapi, bintang tamunya. Siapa dia? Bob Sadino, pengusaha sukses yang tampil nyentrik dengan celana pendeknya ke mana pun.

Dalam acara itu, Om Bob, demikian ia biasa disapa, membicarakan tentang pandangannya mengenai sekolah dan belajar. Menarik. Menurut Beliau, kalau mau kaya, jangan sekolah. Karena, sekolah tidak membuat kaya. Dan, bukan berarti orang yang tidak sekolah itu tidak belajar. Justru, dia belajar banyak hal dari kehidupan yang terjadi di sekitarnya. Desi, host acara itu, kemudian bertanya pada penonton di studio, ada yang tidak suka sekolah? Ternyata banyak, alasannya pun beragam. Mulai dari guru yang bawel sampai pelajaran yang sulit. Ketika ditanya apa yang disukai dari sekolah, jawabannya adalah karena ketemu teman-teman. Hmm, menarik ya.. Serupa dengan survey via status FB saya tempo hari. Selanjutnya Om Bob juga mengatakan bahwa belajar itu tidak harus di sekolah, tidak dibatasi oleh empat dinding di ruangan. Jadi? Sekolah tidak perlu? Bukan itu maksudnya.

Buat saya, ada dua hal yang penting dan harus digarisbawahi, terutama saya sebagai orangtua. Pertama, paradigma atau cara kita memandang sekolah dan belajar. Saya sepakat dengan Om Bob, bahwa belajar bisa di mana saja, dengan siapa saja, dan kapan saja. Belum tentu orang yang sekolah mempelajari lebih banyak daripada orang yang tidak sekolah. Belum tentu yang bersekolah memiliki pengetahuan sebanyak orang yang mau belajar. Kami, ayahnya Thifa dan saya, berpendapat bahwa belajar itu berbeda dengan sekolah. Sekolah artinya mengikuti suatu program pembentukan pola pikir. Sedangkan belajar adalah proses mengetahui dari tidak tahu atau sedikit tahu. Belajar bisa menjadi terampil, bila memang dibutuhkan. Sebenarnya, ini yang membuat kami bertekad agar Thifa tetap belajar dengan kami sebagai fasilitatornya sampai ia berusia 12 tahun, agar ia memiliki dasar yang kuat untuk belajar atas kemauan dan kebutuhannya sendiri. Tapi, di ulang tahunnya yang kelima, Thifa minta agar ia dapat bersekolah. Setelah menimbang-nimbang, kami lihat Thifa menunjukkan dasar berpikir dan belajar yang cukup kuat dan ia paham bahwa belajar setiap saat. Sikapnya pun positif dalam menerima perbedaan. Jadi, kami kuatkan hati bahwa Thifa siap untuk bersekolah Juli nanti. Oh ya, mitra kami dalam pendidikan Thifa juga sudah sepaham dalam pembelajaran dan metode pendidikannya. Tentu, kami tidak akan berhenti belajar. Thifa juga. Kita semua juga kan?

Yang kedua, dalam acara itu Om Bob mengemukakan pendapatnya menjadi orangtua. Menurut Om Bob, sebagai orangtua kita wajib memberikan yang terbaik pada anak kita. Apa pun bentuknya. Atas keinginan sang anak untuk sekolah perhotelan, Om Bob mencarikan sekolah terbaik di Swiss. Seharusnya, sang anak lulus dalam 3 tahun, ternyata butuh waktu 6 tahun. Tante Bob ngomel-ngomel, karena biaya per bulannya 10 ribu dolar. Saya gak mau mikir berapa nol nya dalam rupiah, kalau penasaran, pikir sendiri aja ya, hehehe. Pulang dari Swiss, anaknya buka warung pecel
lele di pinggir jalan. Desi bertanya, apa Om Bob gak kecewa? Jawabnya Om Bob, lho, itu kan waktu dia baru selesai sekolah, siapa tau berpuluh tahun lagi dia jadi pengusaha sukses. Kalau hal serupa terjadi pada kita? Bagaimana ya? Bukan, bukan masalah 10 ribu dolarnya per bulan. Saya sih gak mikirin itu, karena emang gak punya duit sebanyak itu, hehehe,,, Seandainya, anak kita sekolah dapat nilai jelek atau gak lulus-lulus, bisakah kita se'legowo' itu dan tetap berpikiran positif? Lah wong sekarang aja kalau anak ada PR/tugas atau mau ulangan aja orangtuanya yang pontang-panting kan? Maaf, no offense lho ya,,,Belum lagi yang sejak kecil les ini itu supaya sukses ketika besarnya? Sekali lagi, no offense. Jadi inget lagu lama, "que sera-sera, what ever will be, will be, your future's not us to see, que sera-sera". Tapi susah ya, jadi orangtua yang 'que sera-sera'. Harre gieennieee... Persaingan tampaknya dimulai sejak bayi. "Eh, anakmu sudah bisa apa? Lho kok anakku belum bisa begini-begitu," Beranjak besar, persaingan makin ketat. Ketika anak tetangga sudah mengenal huruf di usia yang
belum genap 3 tahun misalnya, maka tidak sedikit orangtua yang kebakaran jenggot merasa anaknya tidak belajar apa-apa. Tak heran, ini adalah ladang bisnis yang menjanjikan. Bayi mulai bersekolah di usia 8 bulan, Les Baca-Tulis makin menjamur dan tak henti peminat, belum lagi yang memproklamirkan diri sebagai metode hitung paling cepat. Semua berlomba-lomba mulai di usia dini. Padahal, itu hidup anak kita lho. Padahal, kemampuan itu adalah kemampuan alamiah. Dengan stimulasi minimal, asal konsisten dan tepat waktu, anak akan bisa dengan sendirinya. Kadang, rasionalitas kalah dengan gengsi dan deg-deg an karena khawatir anak kita tidak mampu. Bisakah kita tetap 'legowo', ketika anak yang kita harapkan sukses dan berhasil, memilih menjadi penjual pecel lele pinggir jalan? Selama ini saya selalu mengatakan pada diri saya, bahwa apapun yang kelak dipilih oleh Thifa, asal itu mengandung 3B (Bermanfaat-Baik-Bahagia), ia boleh lakukan. Thifa boleh jadi apapun asal ia bahagia dengan pilihan. Asal apa yang dipilihnya adalah sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Toh ia tidak akan berhenti belajar kan? Kesuksesan dan keberhasilan itu tidak punya nilai mutlak. Sudahkah saya 'legowo'? Sedang proses, kan saya masih belajar. Semoga saya siap ketika saat itu tiba.

Inilah indahnya jadi orangtua. Saya sekolah 21 tahun termasuk TK tidak pernah diajari jadi orangtua. Tapi, saya diajarkan untuk berpikir. Untuk menganalisis. Untuk mengambil kesimpulan. Untuk mengevaluasi. Untuk mencari alternatif yang lain bila mendapat kesulitan. Bukan untuk lari dari masalah dan menyerahkannya pada orang lain. Untuk jadi orangtua sesungguhnya? Saya masih belajar. Sama dengan Anda. Iya kan?