Thifa Taman Bestari Sekolah Rumah
Pilihan Kami : HOMESCHOOLING
Minggu, 27 April 2008
Udah makan? Makan apa tadi? Nasi, kentang, atau mie? Sayurnya apa? Tumis, sop, sayur asem, sayur lodeh, atau cap-cay? Lauknya bagaimana? Ikan goreng, ayam bakar, rendang daging, gimbal (bakwan) teri, atau telur ceplok pake kecap??? Enak? Keasinan 'gak?? atau, paaassss... banget? hmm.. nyummi.. :) Oh ya, makan dimana tadi? di rumah, restoran mahal, warteg, warung tenda, kafe, ato kantin??? Aaahh,gak penting... Betul begitu? Kita gak pernah pusing kan kalau orang lain makan apa kita makan apa. Yang penting, perut kenyang, kebutuhan primer terpenuhi.

Menurutku, pendidikan sama ajah dengan makan. Kebutuhan Primer. Tunggguuu, jangan ngakak begitu dong. Memang, aku penikmat makanan. Buatku, makanan yang enak sama dengan kenikmatan yang tiada tara. Meskipun kenikmatan itu hanya sampai di lidah kata sebagian orang, tapi lihat dong dampaknya. Makan makanan sampah kebanyakan, dijamin, tubuhnya tidak sehat. Padahal makanannya sudah berubah bentuk dan entah kemana kan? Nah, sama halnya dengan pendidikan. Dampaknya akan bertahan sepanjang hayat. Mustinya, jangan diambil pusing pendidikannya mau dilaksanakan di mana. Di sekolah, silakan, di rumah, monggo. Sekolahnya mahal atau murah, tinggal pilih. Yang penting, efeknya, dampaknya. Bergunakah pendidikan itu untuk kita? Harus. Gak usah bingung, mau dapat pendidikan di mana tempatnya. Yang harus dipikirkan adalah manfaatnya. Tapi, tenang, kita tinggal pilih kan, mau yang manfaatnya banyak atau sedikit, mudharat (keburukan)nya banyak atau sedikit. Tinggal pilih. Tinggal pilih. Jangan kayak orang susah deh. Hehehehe. Gak usah dibandingin makan dimana, makan apa, atau segala jenis perbandingan yang mungkin dilakukan antara satu dan yang lainnya. Tenang, semuanya sama, sama-sama makanan. Sama-sama pendidikan. Tujuannya sama. Pilihannya yang mana? Ter..se..raahh... :)

Pilih-pilih soal kebutuhan primer, kami pilih homeschooling sebagai media pendidikan anak kami.Bukan mau ikutan trend. Uh, soal trend ini, aku sampai diancam sama Eyang prof ketika tahu kami memilih homeschooling untuk Thifa.. "Awas, jangan ikut-ikutan" Enggak, Eyang.., Insya Allah, sudah kami pertimbangkan matang-matang. Bukan juga mau menyaingi sekolahan. Homeschooling bukan berarti anak kami berbeda sehingga tak bisa ditangani di sekolahan. Hormatku pada guru-guru. Hormatku pada para penyelenggara sekolah yang menjunjung tinggi esensi pendidikan.

Kenapa homeschooling? Karena,kami ingin terus belajar.Itu saja. Kami, ayah-bundanya, tak rela bila hanya Thifa yang belajar. Berjuang sendirian menguasai sesuatu. Iri. Gak rela. Beneran. Kami ingin bisa berdekatan dengannya. Mendampinginya. Melihat binar matanya ketika rasa ingin tahunya menggelegak, merasakan keceriaannya mengetahui sesuatu yang baru. Bersamanya ketika susah mendera. Memeluknya sebanyak yang ia mau. Kami tak ingin Thifa kehilangan waktu untuk bermain. Kami ingin ia menikmati hidupnya. Bukan hidup yang diatur ini dan itu, tanpa tahu aturan itu untuk apa. Biarlah Thifa-ku mencari sepotong kebahagian, menyusunnya menjadi pigura cinta kehidupan.

Siapa kami? Bukan siapa-siapa. Hanya dua orang manusia, yang ingin terus belajar. Belajar tentang hidup. Belajar tentang menjadi dewasa, menjadi orangtua, menjadi manusia, menjadi masyarakat, menjadi warga dunia. Dalam homeschooling, kami belajar itu semua. Belajar menerima perbedaan. Belajar untuk dinamis. Anakku bukan makhluk statis yang bisa dipola ini dan itu. Demikian pula informasi dan pengetahuan. Berubah terus setiap hari. Banyak hal baru yang kami temui. Bersamanya kami belajar tiap saat. Bersama teman-teman semua, kami belajar untuk terus menjadi lebih baik setiap hari.

Di homeschooling, kami merasa berada dalam keluarga besar. Super besar. Saling membantu. Padahal tak saling mengenal. Tak ada yang lebih baik dibandingkan yang lain. Semua punya tujuan masing-masing, berjalan berdampingan mencapai tujuan. Mencapai arti pendidikan yang sebenarnya.

Di benakku, keluargaku ini berjalan berdampingan, bergandengan tangan, menaiki tangga terjal, menyelesaikan rintangan yang menghadang. Sambil terus tersenyum ceria. Bila sedih datang, sekedar genggaman hangat tangan seorang teman menjadi obat hingga senyum kembali mengembang. Saling menguatkan. Sepanjang perjalanan, banyak kerumunan kelompok lain. Ada yang ikut tersenyum bahagia, ada yang mencibir, ada yang berusaha bergabung dengan membawa misinya sendiri. Banyak. Tapi, keluargaku yang sejati, akan terus berjalan, mencapai tujuannya.

Happy homeschooling,