Thifa Taman Bestari Sekolah Rumah
Belajar Menerima
Kamis, 03 April 2008
Dulu, sebelum menikah, pemahaman yang kutanamkan pada diri sendiri adalah MENERIMA perbedaan orang lain. Mungkin ada pengaruhnya juga dari kuliah-kuliah yang kuikuti. Bahkan, ketika hampir selesai sekolah, aku memiliki pendapat bahwa menikah berarti harus menerima dan siap dengan perbedaan yang dijumpai pada pasangan. Logikaku, pasanganku kelak dibesarkan dengan pola dan gaya asuh yang pasti berbeda denganku selama puluhan tahun, sehingga hasilnya pasti sangat unik. Belum lagi segala pengalaman hidup yang pasti mewarnai kepribadiannya. Dengan kesiapan untuk menerima perbedaan, maka kami pun bersatu menjalani lika-liku kehidupan.

Sekarang, setelah memiliki anak,ternyata proses pembelajaran itu berlanjut. Meskipun kami sebagai orangtua punya hak penuh untuk menentukan pola dan gaya pengasuhan, anak tetaplah individu unik yang menjadikan hasil semua proses sebagai suatu seni. Terutama ketika kami memutuskan untuk melaksanakan pendidikan berbasis rumah alias home education. Segala sesuatunya menjadi berubah. Kami berusaha untuk menyadari setiap kebersamaan menjadi sebuah pembelajaran. Kami berusaha menerima setiap hasil yang terjadi. Kami sadar, kami tidak punya wewenang untuk menentukan segalanya. Biarlah semua menjadi hadiah manis dari setiap proses yang kami lakukan. Seperti petuah sebuah lagu lama, "Que sera-sera, what ever will be, will be, Your future's not us to see, Que Sera-Sera, What will be, will be"

Di awal pembelajaran mengenai pendidikan berbasis rumah, kami belajar mengenai pentingnya suatu proses. Tak mudah untuk mengubah persepsi yang sudah ada. Percakapan dengan seorang teman setahun yang lalu masih membekas di benakku. Kala itu aku bertanya apa harapannya untuk sang putri kelak. Ia menjawab, terserah sang anak mau jadi apa, mau jadi tukang gado-gado di depan rumah boleh, mau jadi marine biologist pun boleh. Asalkan ia bahagia. Sebuah pernyataan yang menarik. Sang teman telah memberikan pembelajaran dan pemaknaan hidup yang luar biasa. Sekali lagi, menerima. Ternyata belajar tentang kehidupan, berarti belajar untuk menerima.

Tidak mudah. Benar, tidak mudah. Sebagai orangtua, segala asa digantungkan setinggi langit agar anak bahagia. Padahal kebahagiaan itu datang dari diri sendiri. Bahagia bila dapat meraih asa yang digantungkan sendiri, bukan oleh orang lain, pun orang tuanya. Mungkin, ini masih mungkin karena perjalananku masih panjang sebagai orangtua, kebahagiaan orangtua adalah ketika melihat anaknya bahagia dari hasil usahanya sendiri. Dan, tentunya ketika kita, sang orangtua, bisa menerima keadaan anak kita.

Proses ini yang sedang aku pelajari. Tak hanya anakku yang belajar, kami pun terus belajar. Belajar menerima dirinya yang ternyata sangat seniman. Belajar menerima dirinya yang menyukai hal-hal di luar kebiasaan, ia lebih tertarik dengan pakaian, aksesoris, perhiasan, tata rias, berjalan di atas panggung, memainkan peran, membuat cerita, menulis skenario, dan mengkhayal, dibandingkan berangan-angan menjadi dokter, menjadi insinyur, menjadi pengacara, atau pekerja lainnya.

Kami akan terus belajar. Tidak hanya anakku, kami sebagai orangtuanya pun akan terus belajar. Menikmati setiap proses kehidupan. Menikmati perjalanan menggapai cita-cita yang digantungkan oleh anakku. Que Sera-Sera, What will be, will be.

_bundanya thifa_
"terima kasih, bu Ines :)"