Thifa Taman Bestari Sekolah Rumah
Puasa TV
Minggu, 23 Maret 2008
Sulit. Benar-benar keputusan yang sulit. Gimana tidak, televisi rasanya sudah menjadi bagian dari hidup. Meskipun selama ini kami tidak terlalu tergantung dengan televisi-ada syukur, gak ada ya nggak nyari- awalnya sulit. Terutama untuk Thifa. Sebenarnya kalau televisi nyala, Thifa pun bisa asyik dengan kegiatannya sendiri, main atau baca buku atau mengerjakan sesuatu.

Sampai bulan lalu. Salah satu siaran televisi lokal menyelenggarakan kontes menyanyi untuk anak. Awalnya, bagus juga kali ya, untuk memperlihatkan bagaimana kompetisi dan keberanian anak-anak itu tampil. Setelah berjalan beberapa waktu, kayaknya ada yang harus diwaspadai. Pertama, siaran ini tiap hari. Anak-anak yang lolos audisi diseleksi berkali-kali, dengan pilihan SMS.Tak peduli suara seperti apa, yang penting jumlah SMS. Hmm... Kedua, lagu yang dibawakan ternyata bukan kategori anak-anak. Lagu-lagu orang dewasa alias lagu pop. Bukannya anti lagu orang dewasa, tapi rasanya masih banyak lagu anak-anak yang bisa dibawakan. Atau, memang tidak ada? Memang sulit jadi anak-anak sekarang, tidak ada lagu buat mereka. Di mall, lagu yang diperdengarkan adalah lagu orang dewasa. Padahal pengunjung mall adalah ibu-ibu dan anak-anak. Bapaknya? di kantor lah.. kerja, cari duit, hehehe... Tapi, bukan berarti anak-anak dibenarkan untuk menyanyi lagu dewasa kan? Atau, memang ini adalah suatu pembenaran? Hmm... Ketiga, dialog-dialog yang ada di tayangan tersebut, rasanya tidak pantas didengar oleh anak. Mencela satu sama lain (bukan pesertanya, antara komentator dan pembawa acara), bahkan sampai taraf menghina. Seakan-akan sah-sah aja untuk menjelek-jelekan orang lain. Okelah lucu. Tapi, gak perlu bercanda terus-terusan kan? Becandanya gak elegant lagi, hehehe... Atau, memang seperti itu tampilan wajah masyarakat kita? Hmm... Keempat, komentatornya. Memang sih, gak menjatuhkan anak. Tapi, ketika salah seorang komentator memberikan 'kritik' membangun, langsung dibantah oleh komentator lainnya. Hmm... tidak konsisten, di satu sisi saling menghina, tetapi justru melindungi anak bila diberi kritikan membangun. Komentar-komentarnya pun kebanyakan hanya memuji seperti pak Tino Sidin, "bagus..." Hanya sesekali komentar yang disampaikan memang sesuai kapasitas komentator dan objektif sesuai penampilan anak. Mungkin karena si komentator ini punya anak, jadi tau dengan tepat bagaimana memberikan dukungan yang baik.

Apa hubungannya dengan Thifa?? Banyak. Dia suka menonton tayangan itu. Lalu senang berimajinasi menyanyi di atas panggung dengan berbagai gaya. Di lain waktu, ia menjadi pembawa acara. Lengkap dengan gaya si pembawa acara tayangan tadi, lengkap dengan ejekan dan hinaan. Huuuuaaa..... kuping panas dan mata sepat melihat 'kerusakan' yang terjadi. Pertolongan Pertama Pada Kerusakan (P3K) dilaksanakan. Tidak boleh menonton televisi. Karena, selain acara yang tadi kita bicarakan, sinetron juga mengambil porsi dalam pikiran dan perilaku anakku. Oh, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

OK. TIDAK ADA TV. Thifa hanya boleh menonton televisi bila ada Bunda atau Ayah. Saluran yang boleh ditonton pun hanya berita di televisi berita. Kami memang tidak berlangganan televisi.Dalam satu hari, boleh menonton VCD/DVD sebanyak satu film. 2 pekan pertama, Bunda ijin bekerja di rumah demi membiasakan Thifa untuk tidak menonton televisi. Bahkan tidak untuk masuk ke kamar mami (di rumah mami) bila mami menyalakan televisi di kamar. Sebagai gantinya, Thifa punya kesempatan 30 menit untuk menggunakan komputer. Terserah apa yang akan ia lakukan, browsing di internet atau bermain edugames. Selain itu, aktivitas lainnya disediakan. Baca buku, main boneka kertas, Baju-baju untuk bonekanya-Daina dan Pipi, menggambar, menggunting, atau mengerjakan lembar aktivitas.

Tidak mudah, pasti. Karena kadang kita menjadikan televisi sebagai pengasuh anak. Mungkin kita atau anak bisa mengendalikan diri dengan mematikan televisi bila tidak diperlukan. Mungkin siarannya bisa kita pilih, tapi iklannya? tidak hanya iklan produk, tapi juga iklan sinetron. Televisi berlangganan? Sementara ini tidak masuk dalam kategori pilihan. Selain berbayar, khawatir juga akan jadi kecanduan. Usahanya memang jadi lebih besar tanpa televisi. Jangan sampai bosan dan jadi tidur melulu. Ragam aktivitas harus disiapkan. Toh tidak setiap waktu anak harus ditemani. Mereka harus kenal waktu untuk diri sendiri alias me-time. Juga orangtuanya kan? Jadi, tanpa televisi? Siapaa takuuuttt....