Thifa Taman Bestari Sekolah Rumah
Perjalanan Mesin Waktu
Sabtu, 23 Februari 2008
... Dua puluh satu tahun yang lalu ...

Seorang anak perempuan pindah rumah, dari Setiabudi ke Pejaten, Pasar Minggu. Saat itu, Jakarta masih sepi, belum ada kemacetan. Rumah-rumah pun belum sepadat sekarang. Pindahan saat liburan panjang membawa keuntungan sendiri, teman-teman mudah ditemui bermain di sekitar rumah dan masuk kelas di awal tahun ajaran baru. Tak perlu waktu berminggu-minggu, sang anak telah bertemu seorang teman yang juga seusianya dan bersekolah di tempat yang sama. Rumahnya pun tak berjarak jauh, hanya 100 meter. Meskipun berbeda kelas, satu di kelas 5 A dan satu di kelas 5 B, mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Hari-hari dihabiskan dengan bercanda, belajar bersama, les tari, pertunjukan tari, dan tentu saja, bermain bersama. Hari kelulusan SD pun tiba, Alhamdulillah, mereka berdua diterima di sekolah negeri yang sama.

Tiga tahun kemudian adalah masa remaja yang menyenangkan. Persahabatan dari SD tak lekang oleh waktu. Tak pernah satu kelas bersama, tapi selalu bertemu. Jarak 2 km dari rumah dilalui pergi dan pulang dengan berjalan kaki, bersama teman-teman lain, bercanda, tertawa.

Sayang, masa SMA tak lagi bersama. Dua anak perempuan yang telah menjadi remaja berpisah sekolah. Hubungan mulai tak sesering dulu. Sesekali bertemu dan bercakap membahas pelajaran atau sekedar omong kosong. Cita-cita pun diretas sepanjang jalan. Sampai akhirnya pengumuman UMPTN memisahkan keduanya. Yang satu, harus pindah ke kota lain demi melanjutkan pendidikan, sedang yang satu, tetap di Jakarta.

Kala itu, hampir hanya setahun sekali mereka bertemu, ketika lebaran. Kesibukan menjadi alasan tak berjumpa. Kehidupan mulai menunjukkan kuasanya untuk mengubah seseorang. Gaya hidup dan kesukaan yang berbeda, makin membuatnya jarang bertemu. Pertemuan itu menjadi semakin jarang ketika dunia kerja menjaring keduanya. Rasanya, mereka hanya sempat bertemu ketika salah seorang diantaranya menikah, kemudian beberapa kali bertukar sapa di jalan ketika bertemu, dan ketika seorang bayi lahir ke dunia. Setelahnya, hanya lambaian tangan dari balik kemudi ketika berpapasan di jalan.

Sampai kemarin. Mereka bertukar pelukan, saling memandang, berusaha menahan air mata Mereka bertemu di sebuah kamar perawatan di rumah sakit. Sang sahabat terbaring tak berdaya. Separuh badannya tak bisa digerakkan. Bicaranya tak jelas. Pandangannya kosong tapi terkadang ada harapan tersimpan di kedalaman. Serangan stroke pekan lalu membuatnya berada di rumah sakit ini. Tuhan, dia masih muda. Masih banyak asa yang dijalin. Seorang pekerja keras, berusaha mengubah kehidupannya. Ya, dia lalai terhadap tubuhnya, terhadap satu kata bernama kesehatan, dan ia telah memetik buahnya. Tuhan, lindungi dia. Beri ia kesembuhan. Rasanya, ingin membalik waktu, memutar kembali masa-masa indah bersama. Berharap bisa mengubah semua, ingin lebih bersama meniti kehidupan. Tuhan, beri kami kesempatan.

Jakarta, 23 Februari 2008