Ada dua orang dewasa bertemu. Setelah bertukar kabar, topik apa yang menjadi bahan perbincangan selanjutnya? "Sudah berkeluarga?" Jika jawabannya ya, akan berlanjut ke "berapa anaknya?" Kalau baru satu, "kapan nambah?" Terus, perbincangan pasti akan berkutat di seputaran anak. Mulai dari perkembangannya, sampai prestasinya. Dijamin, nada-nada bangga pasti tersirat. Seusai perbincangan, kadang berbagai pikiran terlintas di benak orangtua. Bangga, senang, atau bahagia ketika sang anak ternyata berkembang optimal 'dibanding' temannya. Tak jarang, yang terjadi adalah sebaliknya. Risau, gundah, bahkan khawatir ketika mengetahui bahwa sang anak belum se'hebat' temannya. Yang terjadi selanjutnya? Anda saja yang menebak.
Kemarin, ketika menjadi pembicara seminar, ada pertanyaan yang menarik. Seorang ibu bertanya, "Apakah boleh saya memberikan berbagai pengetahuan dan pelajaran pada anak saya karena saya ingin memanfaatkan masa golden age yang katanya sebelum usia 3 tahun? Daripada nanti dia susah belajar setelah berusia setelah 3 tahun," Boleh 'gak ya?
Jadi orangtua memang gampang-gampang susah. Tapi yang pasti adalah menyenangkan jadi orangtua. Kita mengajarkan ini-itu pada anak, dibilang eksploitasi. Kita gak ajarin apa-apa, wah, dibilang bukan orangtua yang baik. Jadi gimana dong?
Selama ini Aku selalu berkata berulang-ulang pada diri sendiri, bahwa apa yang kuberikan pada anak haruslah untuk kepentingan dia, bukan untuk kepentinganku. Rasanya susah untuk memilah perasaan. Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah iklan. Ada kegiatan lomba spelling bee. Wah, jarang nih ada lomba seperti ini, pikirku. Lalu,terlintas di benakku, ini lomba bergengsi dan Thifa pasti bisa menang kalau ikut lomba ini, dia 'kan sudah sering bermain 'spelling bee'dan hasilnya selalu benar. Terbayang betapa bangganya aku bila anakku yang berusia 5.5 tahun bisa menang lomba ini. Saat yang sama, aku merasa tertampar. Plaak... Lah, berarti niatku adalah untuk mencari kebanggaan diri dong? Aku tau pasti Thifa senang ikut lomba itu, tapi aku sudah terkontaminasi oleh satu virus yang bernama 'ambisi'. Akhirnya aku batal memberitahu Thifa tentang lomba itu. Karena, aku tahu pasti bila ia diberitahu, dia pasti mau mengikutinya. Lebih sulit bagiku untuk menjaga hati untuk tidak embebaninya, daripada mengubur keinginanku melihat anakku menang suatu lomba. Toh, tanpa ikut lomba itu, Thifa tetap senang menulis dan mampu menulis dengan ejaan yang benar. Tanpa ikut lomba itu, aku tahu pasti bahwa anakku punya kemampuan yang baik dalam bercerita dan menulis. Saya bersyukur, Thifa punya keteguhan hati. Meskipun, kadang lebih menjurus ke keras kepala, hmm, bakat dari mana itu ya? Baru-baru ini Thifa menolak untuk mengikuti sebuah lomba menulis cerita, hanya karena ia lihat kriteria yang ada adalah SD, SMP, SMA. "Tidak ada untuk TK-B, Bun," alasannya. Aku berusaha menjelaskan bahwa itu adalah kriteria kemampuan saja dan kemampuan Thifa setara dengan anak SD. Tapi, Thifa tak bergeming. Segala cerita aku usahakan agar ia mau menulis cerita sesuai dengan tema, tapi tak berhasil. Akhirnya aku menyerah, tak lagi memaksa. Kalau dipikir-pikir, aku lebih terbawa emosi bahwa Thifa mampu bersaing dengan anak SD dan aku akan bangga karenanya. Alhamdulillah, ternyata Allah masih sayang padaku dengan mengingatkan aku bahwa kontaminasi virus itu bisa membahayakan.Alhamdulillah juga anakku punya pendirian yang kuat. Padahal, hampir setiap hari ia menghasilkan minimal 2 cerita. Cerita dari hati, yang dibuatnya dengan senang hati.
Ada orangtua yang beranggapan bahwa ikut-ikut lomba itu sangat penting. Supaya anak jadi percaya diri dan bisa berkompetisi. Sebagai sarana bagi anak untuk menguji kemampuannya dan menunjukkan bahwa anaknya cerdas dan pintar. Tak sedikit orangtua yang mengajarkan ini dan itu agar sang anak 'lebih' dibandingkan teman-temannya. Kami tidak beranggapan seperti itu. Bagi kami, tidak ada korelasi langsung antara percaya diri, kompetisi, dan lomba-lomba. Kompetisi seharusnya dengan diri sendiri, bukan orang lain. Dari tidak bisa menjadi bisa. Dari bisa menjadi terampil. Percaya diri atau tampil di hadapan orang banyak, bukan hanya karena terbiasa ikut lomba, tapi karena anak tahu ia memiliki kemampuan. Kemampuan tidak usah dipamerkan, tetapi digunakan dengan baik dan bermanfaat. Selama ini, saya melihat kalau anak ikut lomba itu yang repot orangtuanya. Mulai dari mem'briefing'anak, memberikan instruksi, sampai heboh sendiri. Jadi yang berlomba itu anaknya? atau orangtuanya? Orangtua juga yang teriak paling kencang ketika anaknya juara. Padahal di saat yang sama, anaknya bengong atau cuek biasa aja. Orangtua juga yang paling gusar ketika ada penilaian yang dianggap tidak tepat. Sampai usianya yang 5,5 tahun ini, terhitung Thifa baru mengikuti tiga kali perlombaan. Pertama, lomba mewarnai (ini ayahnya yang mendaftarkan), hasilnya dia juara 1. Tapi, Thifa sama sekali tidak bangga dengan prestasinya. Kenapa? Dia menjawab, "Bun, pesertanya cuma tiga orang. Satu orang masih kecil, satu lagi mewarnai disuruh-suruh ibunya," Ketika itu dia berusia 3 atau 4 tahun, aku lupa. Hasil mewarnainya sebenarnya cukup rapih. Nah, kalau ada Tom si kucing beda warna kuping dan keju warna-warni, ya itu hasilnya. Lomba kedua, lomba melukis pot beberapa waktu lalu. Masih ingat kan? Itu lho, yang ternyata Thifa mengarang di potnya, hehehe. Lomba ketiga, sebulan lalu mungkin, lomba menggunting, menempel, dan mewarnai ibu dan anak. Jadi kerjasama gitu maksudnya. Ini gak menang sama sekali, lah wong ibunya Thifa beranggapan harusnya anak yang memimpin kerjasamanya, ternyata panitia beranggapan lain. Hehehe. Ya sudahlah, toh buat Thifa yang penting adalah bisa main dengan sahabat-sahabatnya yang ikut lomba itu juga.
Pengalaman kami bersama Thifa, dia tidak pernah ragu untuk tampil bila ia tahu bahwa ia mampu melakukannya. Usia 3 tahun dia naik panggung seorang diri di acara ulang tahun kantor ayahnya, karena ditanya siapa yang ulang tahunnya sama dengan ulang tahun kantor. Thifa maju dan naik panggung seorang diri, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pembawa acara. Lalu, ia mau tampil menyanyi di ulang tahun temannya, karena ingin hadiah yang ditawarkan pembawa acara, hihihihi. Thifa juga tampil sebagai anak yang mudah beradaptasi. Bukan karena sering ikut lomba pastinya, tapi karena sering dibawa-bawa emak sama neneknya, hehehe.
Tidak ada orangtua yang berpendapat bahwa anaknya bukanlah yang terbaik. Tapi, itu bukanlah suatu pembenaran untuk memamerkan kemampuan anak kita atau membanding-bandingkan anak kita dengan anak yang lain. Apalagi pembenaran untuk memberikan semuanya, segalanya, agar anak menjadi yang terbaik demi sebersit rasa bangga bagi orangtuanya. Atau, menjadikannya seperti yang diinginkan orangtuanya. Tidak usah terburu-buru. Jalani saja hidup ini. Tanamkan sikap sebagai dasar bagi anak agar ia tidak cepat merasa puas, agar ia merasa butuh dan ingin belajar, agar ia menjadi manusia pembelajar. Tidak mudah pasti. Lebih mudah mengajari anak baca dan tulis serta berhitung dengan cara yang rutin dan berulang-ulang, daripada membuat ia menjadi cinta buku dan haus akan pengetahuan. Biarkan dia menciptakan piala-piala dari dalam dirinya sendiri, tanpa perlu diberikan oleh penyelenggara lomba. Segala sesuatu itu berawal dari niatnya. Dan, semuanya akan indah pada waktunya. Sepakat?
Home Education : Semua akan indah pada saatnya (diposkan di FB 4 Juni 2009)
Minggu, 03 April 2011